"Alat ini digunakan untuk meneliti lempeng bawah laut. Namanya Keitei Shikaku Hendou. Di Jepang sudah dipakai sejak 10 tahun yang lalu," kata Hery. Ia mengatakan, saat ini pihaknya sedang berupaya mengusulkan kepada pemerintah untuk memakai alat itu.
Hery menerangkan, dengan alat ini, global positioning system (GPS) akan dipasang pada kapal dan di darat sementara sonar akustik akan dipasang di bawah laut. Nantinya, alat tersebut dapat membaca gerak lempeng relatif terhadap kapal, termasuk gerak kapal relatif dengan daratan. Dengan cara itu, pergerakan lempeng bisa diketahui. Menurut Hery, aplikasi GPS akustik sangat penting terutama di Selat Sunda dan lepas pantai selatan Jawa.
"Kalau di Mentawai ada banyak pulau-pulau, jadi kita bisa pasang GPS di sana. Kalau di Selat Sunda dan selatan Jawa ini agak sulit. Padahal, Jawa ini, kan, lebih tidak diketahui daripada Sumatera," ungkapnya.
Gempa yang bersumber dari aktivitas di Selat Sunda, menurut Hery, memang sejauh ini tidak pernah terdeteksi mencapai 8 skala Richter. Namun, apa yang terjadi ke depan belum bisa dipastikan. Oleh karena itu, pemakaian alat deteksi menjadi penting, terlebih banyak prediksi gempa yang meleset, terkait jumlah segmen dan kekuatannya.
Selain aplikasi alat seperti GPS akustik, Hery memandang perlunya perubahan persepsi di masyarakat."Persepsi yang sudah berkembang di masyarakat itu, kan, kadang mereka merasa daerah mereka aman," kata Hery.
Ia juga menyinggung pentingnya desain bangunan yang tahan gempa. Dalam pertemuan untuk menyampaikan hasil riset kerja sama dengan Jepang yang berlangsung hari ini, Hery memaparkan hasil penelitian seputar gempa, tsunami, dan aktivitas gunung berapi. Berkaitan dengan tema presentasi itu, ia menggarisbawahi peran ilmuwan untuk fokus tetap melakukan penelitian.
Sumber : kompas
0 komentar:
Posting Komentar